Saturday, November 5, 2011

cerpen kuuu ~

Oktober

Pagi itu hari pertama bulan Oktober. Bulan yang paling ku tunggu setiap tahunnya. Bulan dimana aku sudah membayangkan akan ada banyak kejadian mengesankan. Bulan dimana usiaku akan bertambah, bulan dimana aku menerima sakramen Krisma (salah satu adat di agamaku. Sakramen tersebut adalah sakramen penguatan iman), juga menjadi salah satu kebanggaan untukku karena dibulan itu aku akan resmi dilantik menjadi bagian dalam salah satu organisasi disekolahku.
            Hari kedua dibulan Oktober pun dimulai. Aku menapakkan kakiku di tangga menuju ke dalam sekolahku yang luas itu. Dengan dua hadiah yang jinjing ditanganku beserta tas sekolah yang ku gendong, aku berjalan dengan mantap dan masuk ke kelasku. Kelas yang sejuk dan tempat yang benar-benar pantas untuk mencari ilmu. Dihari itu aku turut bahagia atas bertambahnya umur kedua sahabatku, Tia dan Putri. Kebetulan mereka berulang tahun dihari yang sama. Hadiah yang kubawa adalah persembahan dariku dan sahabatku, Sita.
“Syukurlah mereka suka”, kataku pada Sita.
“iya, tadinya aku kira mereka kecewa karena kita hanya bisa memberi ini”, timpal Sita sembari tersenyum. Aku pun hanya membalas dengan tersenyum. Melihat Tia dan Putri menikmati hari ulang tahun mereka, aku dan Sita juga ikut bahagia.
Tidak terasa, aku sudah berada di hari kesembilan bulan Oktober. Aku ingat betul hari itu adalah hari Sabtu. Hari yang aku percaya pasti ditunggu oleh para pelajar. Hari dimana aku menerima sakramen Krisma dan bisa bertemu dengan seseorang dari kelas sebelah di Gereja. Seseorang yang entah kenapa selalu membuatku ingin bertemu dengan sosoknya yang biasa. Sekilas tidak ada yang menarik darinya, tapi ada sesuatu yang aku tidak tahu pasti rasa apakah itu. Seseorang yang tidak spesial itu biasa dipanggil Tama. Kami saling mengenal berawal dari sahabatku, Rina. Perkenalan kami dimulai ketika Tama mulai dengan mengirimkan ku pesan singkat. Setelah banyak yang kami bicarakan, kami mulai dekat. Walaupun hanya sebatas pesan singkat, tapi entah kenapa aku senang. Atau mungkin juga karena aku memang sudah diam-diam memperhatikannya sejak dari awal kami menjadi murid di sekolah kami ini. Dihari yang sejuk itu, saat pelajaran berlangsung, salah satu teman Tama memberi tahuku bahwa Tama sedang berada di UKS. Dia bilang Tama mendadak demam dan tangannya mati rasa. Aku panik. Lagi-lagi aku tidak tahu akan perasaanku. Tama bukan siapa-siapa, dia hanya temanku seperti yang lain tetapi entah kenapa aku sangat panik hingga membuatku tidak konsentrasi. Saat bel istirahat berbunyi, aku bergegas menuju UKS. Ketika sampai didepan pintu UKS putra, aku ragu. Ragu untuk masuk, ragu untuk berbicara langsung dengannya untuk pertama kali, ragu untuk menginjakkan kakiku satu langkah lagi memasuki ruangan kecil itu. Tapi tiba-tiba ketua PMR disekolahku yang juga sahabatku datang. Dia adalah kakak kelasku. Walaupun dia lebih tua dariku, tapi dia sahabatku yang dapat memberikan solusi saat aku sedang ada masalah. Dia berbadan besar tinggi dan sedikit gempal. Kulitnya hitam dan memakai kaca mata yang membuatnya terlihat lebih pintar. Dia bernama kak Vian. Karena saat itu dia melihatku ragu dan bingung didepan UKS pria, dia melihat siapa yang ada didalam UKS. Tanpa bicara dia sudah tahu apa yang aku rasakan. Gugup, mungkin itu yang ada dipikirannya saat itu. Akhirnya dia mendorongku memasuki UKS putra. Sebenarnya aku tidak mau.
“sudah jangan mendorongku. Bukannya aku tidak boleh masuk?”, kata ku dengan sedikit berteriak.
“sudah masuk saja” katanya. Jelas aku kalah karena badannya jauh lebih besar dariku. Tanpa sadar, Tama memperhatikan kami dari tempat tidur yang ia tempati. Setelah aku melihatnya memperhatikan kehadiran kami, aku pun meyakinkan diri sendiri untuk masuk.
“hai” kataku memulai pembicaraan dengan sangat canggung.
“hai juga” sapanya dengan nada malu-malu.
“sakit apa?” kataku akhirnya. Rasa canggung itu menyiksaku.
“aku belum yakin”
Tiba-tiba dari luar UKS ada yang menyebut namaku. Seseorang yang suaranya sudah tidak asing lagi. Sesuai dugaanku, kak Adit dari luar dengan raut wajah yang tidak ku ketahui pasti raut wajah apa itu memintaku untuk menemuinya. Kak Adit adalah kakak kelasku yang jauh lebih lama dekat denganku daripada Tama. Walaupun kak Adit sudah mengungkapkan perasaannya padanya dan aku pun begitu, tapi kami masih sebatas kakak adik saat itu. Jujur aku tekejut saat dia memanggilku, tidak menyangka dia tahu aku sedang menemui Tama.
“apa yang kamu lakukan disini?”, kata kak Adit saat aku sudah ada didekatnya.
“aku hanya menjenguk Tama, kak. Dia sakit. Apa salah?”
“tidak. Sama sekali tidak salah”, dengan raut wajah yang lagi-lagi tidak ku ketahui pastinya, ia pergi meninggalkan aku yang masih menatap punggungnya yang pergi semakin menjauh. Dengan wajah masih setengah bingung, aku berusaha untuk acuh tak acuh dan berusaha untuk tidak memikirkan kakak kelasku itu sesekali.
Sekembalinya aku ke UKS dan kembali melihat Tama yang terbaring lemah, bel untuk kembali memulai pelajaran sudah terburu-buru memanggilku. Waktu istirahat saat itu terasa sangat cepat bagiku. Belum sempat aku memulai pembicaraan dengan si anak kelas sebelah itu, terpaksa aku harus kembali masuk ke kelas. Tanpa berlama-lama disana, aku berkata “cepat sembuh”. Dengan tersenyum aku mulai berjalan meninggalkannya. Saat aku sudah ada berada didekat pintu dan ingin menutupnya, tiba-tiba Tama mengatakan “terimakasih”. Dan aku sungguh tidak menyangka, dia juga tersenyum tulus ke arahku. Waktu serasa berhenti sepersekian detik saat ia tersenyum. Akhirnya saat aku dapat mengendalikan diriku kembali, aku pun membalas senyumnya. Aku membiarkan pintu UKS putra tidak tertutup sepenuhnya.
Sampai dikelas dan pelajaran dimulai pun aku masih saja tidak bisa berhenti memikirkan keadaaan Tama. Sepulang sekolah tanpa berpikir panjang, aku mengirimkannya pesan singkat yang berisi menanyakan keadaannya. Beberapa menit Tama tidak membalas serasa berjam-jam. Aku terlalu khawatir karena aku sama sekali tidak tahu bagaimana keadaannya saat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada teman-teman Tama lewat pesan singkat. Tapi teman-temannya justru membuatku semakin khawatir. Ada yang mengatakan Taman mengidap sakit saraf, DBD, dan masih banyak lagi yang mereka katakan. Aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi pada teman-temannya.
Handphone ku masih tetap terjaga sampai pada akhirnya Tama mengirimkan pesan singkat padaku dan mengatakan bahwa ia sudah ada di rumah sakit dan masih dalam tahap pemeriksaan. Dikamarku, aku hanya dapat memikirkannya dan hanya dapat berdoa untuknya.
Mengingat aku harus bersiap untuk menerima sakramen Krsina pada sore harinya, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Sedih rasanya mengingat seharusnya Tama juga menerima sakramen Krisma sama sepertiku. Padahal aku sudah membayangkan bertemu dengannya di Gereja, bersama-sama menerima sakramen dengan suka cita, dan saling mengucapkan “selamat”.
Ramainya Gereja dengan para remaja yang rata-rata seusiaku membuat Gereja tampak seperti lautan salju, semua memakai pakaian berwarna putih dengan gaya yang unik dari masing-masing anak. Menunjukkan dengan jelas bahwa bagi aku dan mereka, hari itu adalah hari yang spesial. Tak terkecuali Tama. Ya, sepanjang misa tak henti-hentinya aku memikirkan perkembangannya. Dan yang pasti, di sela-sela doaku, ku sebut namanya. Mungkin saat itu hanya doa yang dapat kuberikan. Selesai perayaan misa, aku kembali ke rumahku yang nyaman. Melepas sepatuku, meletakkan tasku diatas sofa yang empuk, dan yang terakhir adalah menghempaskan tubuhku yang masih menggunakan pakaian yang sama sejak misa. Perayaan misa pada hari itu adalah perayaan misa terlama yang pernah aku jalani. Hampir 3 jam perayaan misa tersebut berlangsung. Tak heran, remaja-remaja yang akan menerima sakramen krisma seperti ku jumlahnya tak terkira. Lebih dari 100. Setelah merasa sudah cukup merebahkan diri di sofa, aku kembali bangkit dan berganti baju. Aku menyalakan TV untuk setidaknya melupakan sebentar apa yang terjadi pada hari itu. Semua kegalauan yang aku alami dihari iru seakan ingin aku buang jauh-jauh. Tidak terasa, waktu berjalan cepat. Akhirnya, aku menutup hari itu dengan doa dan tertidur di kasur nyamanku.
Hari kesebelas bulan itu diadakan upacara bendera seperti biasa. Dan dihari itu juga aku resmi menjadi bagian dari satu organisasi disekolahku. Walaupun banyak yang menyebut kami adalah organisasi, aku lebih suka menyebut kami adalah keluarga. Keluarga yang saling mengerti, terbuka, dan melewati suka duka bersama-sama. Tanggungjawab yang kami emban memang tidak mudah, tapi aku bangga menjadi bagian dari keluarga kecil ini. Aku belajar banyak. Memang saat itu kami baru saja resmi menjadi ‘keluarga’, tapi aku sudah merasakan indahnya yang akan kami alami. Pasti akan ada banyak kenangan yang tidak terlupakan dan akan menjadi pengalaman indah untuk kami. Saat itu juga --- seperti biasa dibacakan nama-nama murid yang biasanya mendapatkan juara pada suatu perlombaan. Dan aku semakin bangga lagi karena pada hari itu juga aku dipanggil menjadi juara kedua lomba baca Alkitab se-DIY. Hari yang membanggakan, pikirku.
Sejak hari Sabtu saat dia diperiksa di rumah sakit, Tama tidak masuk sekolah bahkan sampai aku berulang tahun di tanggal 12 bulan itu. Semalam sebelum aku berulang tahun, dia bertanya padaku lewat pesan singkat, mau kado apa? Dan tanpa berpikir panjang, aku hanya mulai mengetikkan kata yang muncul dipikiranku. Setelah aku pikir-pikir lagi, pesan singkat yang aku kirimkan padanya membuatku semakin sedih. Aku membuka kembali pesan singkat yang aku kirimkan padanya, aku cuma mau kamu sembuh. “wow” kataku dalam hati. Kata singkat yang bisa membuat suasana jadi semakin mengharukan. Mengingat dia bukan siapa-siapa ku saat itu, justru malah membuatku semakin merasa bahwa dia adalah orang yang spesial dalam hatiku. Aku semakin yakin bahwa aku menyayanginya. Entah sayang dalam arti sahabat atau lebih. Aku belum berani memastikan.
Aku berjalan menyusuri lorong panjang sekolahku. Hari itu adalah hari yang sangat sejuk. Maklum saja, bulan Oktober adalah awal musim penghujan. Atau mungkin memang karena perasaanku juga sejuk hingga seluruh tubuhku terasa ringan untuk melangkah memasuki kelas. Pagi-pagi saja aku sudah merasa bersyukur atas hari itu. Serasa Tuhan memberikan hadiah indah untukku. Hadiah karena hari itu usiaku bertambah dan kesejukkan alam yang membuatku sangat bahagia atas hari spesialku itu.
Beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi, Rina mendatangiku dikelas. Memberikanku hadiah dengan kotak dan pita berwarna merah muda. Dia memberitahuku bahwa Tama masuk sekolah untuk pertama kalinya setelah tidak masuk beberapa hari karena sakitnya. Aku cukup tekejut karena dihari aku berulang tahun, dia masuk sekolah. Aku senang. Ternyata dia benar-benar memberikanku hadiah. Banyak juga yang memberikanku ucapan selamat ulang tahun saat itu. Baik adik kelas maupun kakak kelas. Tak terkecuali kak Adit. Bahkan dia mengucapkan selamat ulang tahun padaku tepat pukul 00.00 WIB. Melalui pesan singkat yang kak Adit berikan, memulai hari pergantian tahunku dengan menyenangkan.
Mungkin karena hari itu adalah hari yang membahagiakan untukku, waktu terasa cepat. Pelajaran yang aku terima juga menjadi lebih ringan. Tidak terasa bel pulang sekolah berbunyi. Sepulang sekolah, aku masih harus mengurus beberapa urusan sekolah. Tiba-tiba kakak kelas ku (teman sekelas kak Adit) memberikan ku sebuah boneka dengan bungkus plastik dengan pita merah muda diatasnya. Hadiah berharga, pikirku. Aku bertanya pada kakak kelas teman kak Adit itu
“kenapa bukan kak Adit yang memberikan langsung?”
“dia sakit hati melihatmu di UKS bersama Tama kemarin Sabtu. Seharusnya dia memberikan boneka ini sekaligus menyatakan sayangnya, tapi kamu sudah membuatnya kecewa. Dia menitipkan ini padaku seminggu yang lalu. Dia berkorban banyak untukmu”
kata-katanya membuatku diam sejenak dan berpikir. Aku merasakan ada sesuatu dalam hatiku yang tidak enak. Entah apa.
 Saat sedang mondar-mandir, tidak sengaja aku berpapasan dengan Rina. Tiba-tiba Rina mengampiriku dan mengatakan bahwa hari itu sebenarnya Tama masih demam dan dia paksakan untuk masuk sekolah. Tiba-tiba aku teringat pembicaraan kami pada malam harinya. Aku jadi merasa tidak enak. Walaupun memang belum pasti dia masuk sekolah karena aku, tapi entah kenapa perasaanku berkata begitu. Aku tidak tahu harus senang karena ternyata dia memang memberikanku ‘hadiah’ atau harus sedih karena ternyata dia belum sembuh.
Ternyata benar dugaanku saat itu. Tanggal 13, lagi-lagi Tama tidak masuk sekolah. Bahkan sampai tanggal 15 bulan itu. Aku ingat betul tanggal 15 bulan itu adalah hari Jumat. Hari dimana aku menjalankan tugas mengajarku bersama ‘keluargaku’. Setelah selesai menjalankan tugas, jelas selalu ada evaluasi. Saat evaluasi, saudara-saudaraku itu mengerjaiku habis-habisan. Mereka membuatku merasa bersalah dan akhirnya aku dihukum didepan tiang bendera. Tapi setelah mereka memarah-marahi ku, mereka menyiramku dengan air lengkap dengan gayung dan embernya. Aku merasakan kasih sayang disana. Sungguh menyenangkan, pikirku. Hari itu semakin membuat ku bahagia karena pada hari itu, Tama menyatakan perasaannya padaku. Hari itu serasa membuatku melayang. Membuatku hidup. Membuatku ingin melompat dan menari. Aku pun menutup hari itu dengan senyum.
Tapi sayang, senyum itu tidak berlangsung lama. Esok harinya, Tama memberitahuku bahwa ia harus menjalani oprasi. Aku berdoa untuknya, dan aku menangis. Aku heran kenapa aku bisa menangis hanya karena dia. Padahal sebelumnya aku belum pernah merasakan perasaan aneh seperti ini. Aku tidak mengerti.
Akhirnya aku memutuskan untuk meminta saran pada kak Vian. Dia orang yang enak untuk diajak bicara dan aku percaya dia bisa memberikanku solusi yang terbaik. Saat aku berceritam tiba-tiba saja air mataku keluar. Saat aku sudah mulai tenang, kak Vian mengatakan bahwa ternyata di malam aku menangis untuk Tama, kak Adit juga menangis karena aku. Sungguh rumit. Aku bingung harus bagaimana. Aku hanya dapat berdoa dan berdoa bagi kesembuhan Tama. Tapi aku tetap yakin bahwa Tuhan pasti akan mendengarkan doa-doaku dan akan memberikan kesembuhan pada Tama.
***